Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

sketsa batas langit

sketsa batas langit adalah sebuah pelataran maha luas dengan hamparan hijau permadani segaris tanpa perdu berduri pun bunga neka warna hijau tempat sekotak kolam kecil berdiam dengan air selalu penuh rumah bagi seekor anak katak yang telah sempurna mensiasati hidup pada rentang waktu yang tak bisa lagi ia hitung pergantiannya ia berdiam ia bermain ia tidur di antara garis sejajar ketika ia berdiri ketika ia berbaring pun ketika ia bersujud adalah sebuah garis lengkung warna yang pagi itu menampakkan segala pikatnya di antara gemerlap titik kabut bermain cahaya surya lama ia berdiam satu kakinya tegas menghunjam sisi selatan sementara kaki yang lain menjauh dalam gradasi memutih lama ia berdiam seolah ada yang dia harap lebih dalam diamnya adalah si anak katak yang memandang garis itu dengan sekenanya ia tak paham apa terjadi baginya pagi ini hanya berbeda dari pagi kemarin dan pagi-pagi sebelumnya itu saja hingga hanya ia sendiri yang tahu ketika tiba-tiba ia berlari ke arah selatan se

rembulan paro dua itu bernama sepi

rembulan paro dua itu bernama sepi usai sudah prosesi merengkuh pekat nafasmu dan senja kian menggelincir sepasang mata merah redup memandang langit sore tanpa gemintang hanya angin mengulurkan tangan menyambut dekap lunglai penantian kata terakhir serupa janji ikrarkan jiwa pada lantunan baris puisi rembulan paro dua pun kian meninggi corona tak penuh melingkar pendar secangkir kopi dingin tak selesai sulamkan sebuah nama pada selembar angan aku tahu akan sulit lukiskan wajahmu pada purnama mendatang kerna sepi telah membawamu pulang asap dupa dan setangkai kamboja kuning masih di sini dd: mn 260909

rindu warna

rindu warna rembulan terduduk di ufuk hanya mengurai rambut emas yang sebentar lagi akan terbias oleh gemerlap bunga api, rembulan hanya terduduk di dermaga ini perahu singgahnya terakhir meninggalkan selembar catatan tentang esok yang penuh kunang-kunang ayam jantan termenung merah matanya tertahan, dipaksa tengadah lebih tinggi sebait puisi telah ia ikatkan di kaki dermaga, ayam jantan hanya terdiam janjinya diburu sebelum pagi selesai mandi cahaya emas ketika garis laut kembali menjauh dua tiang dermaga pada jarak ruang dan gerak memandang malam ketika langit berbicara tentang sublimasi hati dd: mn, 170909

hujan satu ketika

hujan satu ketika mungkin tak akan pernah ada lagi bilah-bilah menghubung ruang diam pada waktu tak berujung sebab aroma tanah telah sirna bersama jasad rapuh sementara sepasang mata mati cahaya mungkin hanya nama tersisa pada retak gading sejarah dengan jelaga dan pena tumpul setelah kemarau merenggut pupus tersisa tak ada lagi asap rokok melukis wajahmu tak ada lagi secangkir kopi manis mengecap senyummu tak ada lagi salam di gemerlap embun pagi hujan ini hanya cukup untuk membersihkan daki di kaki sementara tangan dan wajah masih penuh bercak darahmu dan sepucuk belati masih erat kugenggam mn, dd 050909

bahasa

bahasa mata hanya mengedip bibir hanya tersenyum tangan hanya melambai kaki hanya melangkah dan persekutuan pun sepakat memenuh ruang, gerak, dan waktu dalam naluri manusiawi dd: kuta, 270509

ketika langit diturunkan dan bumi diayun-ayunkan

ketika langit diturunkan dan bumi diayun-ayunkan sesungguhnya kami adalah golongan orang-orang yang beriman! cukupkah? dd : mn 230609

perjalanan kosong

perjalanan kosong Malam merambah penjuru, meninggalkan sejumput rasa di sudut pelataran pemahaman. Entah mengapa angin pun mati gerak. Seolah paham benar akan keberadaan yang tak pernah terselesaikan. Aku datang dari utara. Ketika aku tiba di sini, aku hanya melihat tonggak-tonggak pohon tanpa batang dan dahan. Bahkan, ranting-rantingnya pun mungin telah lama meninggalkan dirinya. Aku pun menanyakan pada diriku sendiri : ”Untuk apa aku datang jauh-jauh ke selatan, kalau di sini aku tak menemukan dunia yang aku cari?” Perlahan, setelah lama aku merenungi semua yang telah tertangkap mata dan terekam oleh memoriku yang sebenarnya tak cukup pintar untuk memahami pengetahuan yang disajikan alam, aku baru menyadari, bahwa perjalananku kali ini adalah perjalanan yang tak aku kehendaki. Perjalanan ini sepembawa mata-kaki. Mata-hatiku hanya menjadi pengawal dan bersaksi atas setiap jengkal tanah yang aku pijak. Bekalku hanyalah udara sepenuh ruang paru. Kemudian ketika langit bersaksi atas sega

satu pura mungil untukmu

satu pura mungil untukmu pulanglah tunggulah di sini di antara harum dupa yang pasti akan selalu terpasang dan hidangan yang selalu tersaji untukmu tunggulah sebelum pulangku sebelum reinkarnasimu pulanglah agar dewa-dewa menjagamu di pura mungil ini dd: legian, 260509

re-union

re-union lembut pasir ombak bersahabat sepoi angin berhembus seolah hadir dirimu merentang waktu di sela tanya polos seorang bocah : di sinikah, perjalanan dimensi itu dimulai, ayah? dd: legian, 260509

“G” nol

“G” nol (meredam rindu untuk luh) sungguh, aku tak sanggup lagi menahan beban ini luka diri bersama sejumput cinta yang kau wariskan berapa kali lagi aku harus menahan perih : ayah, apakah bunda damai di sana? apakah bunda benar-benar menunggu kita? ayah, mengapa isak selalu menjadi jawabanmu? sabarlah, nak karena dia memang ibumu dan kasihnya tak tergantikan tunggulah, nak kita pasti temukan jalan menjumpa ibumu (gandeng sajalah tangan ayah, kita seberangi bersama telaga ini di sanalah rumah ibumu) dd : madiun, sept08

aku ingin pulang

aku ingin pulang aaaaaaaaaaaaa iiiiiiiiiiiii uuuuuuuuuuuuu eeeeeeeeeeeee ooooooooooooo tidaaaaaaaaaaaaaaaaak jangan tarik temali itu menjauh aku ingin pulang kepada ladang dan sawah pun kolam dengan teratai ibu.... dd : mn 040509

randu (2)

randu (2) pernahkah, sejenak saja engkau menghentikan langkahmu pada randu yang sengaja menggugurkan dedaun dan menggantinya dengan bunga-bunga kecil pada puncak bediding ketika sinar matahari pertama menerpa kuncu-kuncupnya ketika ranting-ranting masih menggigil atau anggapmu tetap sama alam harus melakukan itu kemudian, tolehkan matamu kepada bekas tapak kaki tanpa alas yang kau tinggalkan di tanah kering berdebu yang lembab oleh embun musim kemarau lalu tanyakan pada jiwamu mengapa tanah itu menempeli kakimu atau anggpamu pun tetap sama karena memang perjalanan ini menjejak tanah pagi itu, randu menyiapkan berkah agar awal penghujan yang sebentar lagi kapuk telah terbungkus kain menunggu jiwa-jiwa lelah memberikan kehangatan sapamu mungkin hangat itu randu dd: mn 200409

episode tuhan tak tergambar

episode tuhan tak tergambar berat langkah kaki terseret melintasi kebun, pekarangan, belantara, padang, tanah kering berbatu terjal tebing, jurang curam tangga langit, undak berhenti di pintu pelataranmu sejenak mengatur nafas aku datang, sayang pada batang kayu, pada bongkah batu pada lumpur becek, pada kelokan jalan pada ranum sore, pada ambang pagi pada matahari, pada gelap malam pada tubuh-tubuh perawan pada senyum bocah-bocah pada tongkat renta pada pancuran air namamu menggurat wajahmu tak sanggup kulukis kulihat hangat pembaringan dari jendela terbuka secangkir kopi masih mengepul uap tersaji di meja aku datang, sayang kau bukakankah pintu atau aku akan tetap lalu sementara telingaku inginkan bisikmu melena dd: mn 140409

episode tuhan buta

episode tuhan buta berdiri atas kabut membelah sinar memudar tangan kanan terangkat menjangkau langit jemari membuka lebar tangan kiri sigap mengepal tuhan aku menantangmu mengusir sepi dari tanah pekuburan ini separuh umur kuhabiskan di sini membaca tanda-tandamu yang selalu diam lantang mulutku teriakkan keputusasaan butakah kau atau memang tak mau perduli sedang kebebasan pilihan telah kau kebiri berdiri di atap bumi mengangkang kaki jejak menancap menggugat delapan penjuru sementara dada sesak pada udara menipis menyengal gambar tentangmu tuhan butakah matamu tak terlihat jiwa kami mengerang-erang terbakar teka-teki pertanda lalu …………. kau pun tetap diam seperti gunung kami pijak dan tangis air mata kami mengucur deras melintasi jurang-jurang kembali pulang gambarmu tak pantas kulukis mesti di batu bulan dd: mn 110409

amputasi

amputasi pergilah sayang selingkar tapal diri pancang pun tunggal dd: mn 100409

kilir

kilir putar tak poros kelupas jiwa renta bengkak reraga dd: mn 0409

golput

golput golput mungkin putih memang bukan golongan dan bukan pula tak tanggungjawab hanya males milih-milih yang berwarna-warna biarlah golput dd: mn 080409

bah

bah kami tidur dalam buai malam entah meluruskan kekusutan hidup entah memompa nafas sepenuh paru entah kami tidur dalam ketakpahaman entah entah apa telah kami perbuat entah apa pikir kami berakibat entah apa azab kami tak ingat entah apa dunia kami berkiblat berjingkat entah kami menghindar mengusung entah kami tak sadar menengok entah kami terpencar menjerit entah kami terkapar entah kami tiada entah kami binasa entah kami nestapa entah kami rerupa bah entah kami rebah bah entah kami tenggelam bah sirna dd: mn 31309

melasthi

melasthi helai demi helai carik demi carik tiap jengkal diam luruh melarut air garam aku di hadapanmu kembali mn : 25 maret 2009