Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2008

ketika jiwa bergerak dan bebas menentukan pilihan di ruang tanpa beban

ketika jiwa bergerak dan bebas menentukan pilihan di ruang tanpa beban (10 menit bersama man Atek) terbanglah, berbaringlah di kehampaan pada gerak dan diam tak akan ada lagi beban menggelayut jadikan diri mutlak bedirilah, jejakkan kaki di bumi pada kesadaran dan intuisi sesungguhnya tak akan pernah terjawab maka diri bukan siapa kemana lagi hari akan kau gulir pencarian pada langit dan bumi padahal sejengkal saja jarak kau tempuh keajaiban-keajaiban akan menghidupi hatimu dan jiwamu bebas bergerak di ruang tanpa beban terbanglah, dan cukupkan jawaban : harus…… dd : mn 1108

lingkar waktu

lingkar waktu pita biru masih menggantung di tugu kota perempuan renta menggandeng malam mencari-cari tetes darah di pundaknya menggelayut mimpi si perawan (jalan tembus menyingkat jarak pada rentang keinginan) pulanglah, anakku mari bermain dengan tanah sawah dan kebun menemani ibu menunggu waktu menjaga makam bapak dd : madiun 1108

kubur waktu

kubur waktu secuil saja dari segumpal nafas cukup menghembus ruh bisu dari lelap kesadaran ke masyuk kebodohan slamat datang bergabunglah kalian di sini di antara bisik-bisik kusut ketika satu jiwa tak bisa mewakili semua apakah kau akan berlalu pula meninggalkan sosok menjaga kubur pada barisan kata-kata nisanmu lalu siapa esok pewaris tugasku? dd : mn 1108 sang penjaga makam

larung

larung (sore mengetuk pintu malam cemara masih mendesis pasir putih terdiam) sayang, sore ini aku akan hantar kau untuk terakhir kali setelah prosesi-prosesi kita lalui tak usahlah kau derai air mata seperti peluk yang tak akan ada lagi di antara kita lambai jiwa dan gumam doa cukuplah (malam membuka pintu sepenuh hati cemara masih berdesis pasir putih tetap terdiam) sayang, aku masih di sini menjaga setiap gerak sampai butir terakhir larungmu sirna (aku pun melangkah pulang menggandeng jiwamu dalam bait-bait puisi) dd : mn 1108

rajah zaman

rajah zaman mengalir seirama angin menghembus kabut pagi pada dinding kesadaran terencana kuhamparkan kehangatan melingkarmu bersama rayuan kata puja melambungmu di puncak desah jilatan lidah mandah pagi menggeliat hasrat tuntas-tandas sebotol anggur : satu anak bakal terlahir ke pemikiran akur mendengkur ikrar mencakar : romansa aklamasi berhenti di puncak ejakulasi sang primata berguru pada naluri berserah menerima luka diri : satu anak telah terlahir di pangkuan dd : dps 1108

memampatmu di rongga kosong

memampatmu di rongga kosong masih seperti kemarin penuh decak tak terjawab oleh diriku yang awam datang dan pergimu pun bukanlah rencana gelisah gerak dalam penantianmu tak kunjung jarum mengintai hadirmu seperti sebuah penyelesaian mesti kau tetaplah petaka : aku dan mereka duuuuuut ahhh.... leganya dd : madiun 1108

berhentilah, aku melamarmu

berhentilah, aku melamarmu berhentilah, tatap wajahmu di dalam cermin itu dan tanyakan padanya : sudah cukupkah kau bersolek dengan rasa atau kau hanya memoles gincu semata pada rias hati bukalah cadarmu, biarkan sejenak hangat pagi mencumbu merah pipi agar nampak rona itu ketika kata cinta merambati nadi dan kerling matamu menjadi potret abadi : bungahnya aku atau, kau pun akan menutup wajah dengan dua tangan ketika nafas hangatku sejengkal di keningmu berhentilah, jangan diamkan cermin itu karena rindunya nyala lilin dd : madiun 1108

merdeka (rasa)

merdeka (rasa) lampus pada sisa tonggak habis nalar terkikis gerimis mengiris lapis ari rasa pecah curah makna bisu jalan mata bungkam celoteh toleh hujan lebat tanpa cawat : merdeka..... dd : mn 1108

perempuan dengan tattoo naga

perempuan dengan tattoo naga mengapa hanya kau baringkan tubuh pada tumpukan kapas sementara jiwamu kau ijinkan mencengkeramku erat-erat : dalam rengkuh-lenguh-peluh setelah perjalanan membelah lautan karamkan pencarian pada karang hitam kembalimu adalah butir salju padamkan naga-api di lengan kiri sirnakan gincu dan maskara lalu kau nyalakan dupa di ujung jari dalam sahaja kain-kebaya menyelip kamboja kembalimu adalah warna dan kuku nagamu di punggungku dalam gemuruh pemaknaan : naga pun menggeliat dd : mn 1108 selamat datang kebali

dan hujan pun tak lagi hijau

dan hujan pun tak lagi hijau maka angin pun menghentikan langkahnya tak ada lagi sapa mengisi kekosongan gemuruh hujan menerlantarkan sepotong kertas pada rindu sepi perempuan itu merajut serpih kenang kusam menatahkan pada dinding sunyi sebuah penantian secarik mata sayu dan hati hijau terpisah kegamangan angan langit pun mendung dan ajakan hujan yang pura-pura melahirkan kebencian pada undakan yang tak sampai ujung dan perempuan hati hijau itu mengangkangi hari menantang hujan yang sungguh-sungguh bersekutu membunuh tatap sayu ketika pena tak lagi tuliskan sajak pada selembar kertas dd : madiun 1108

cinta, suatu ketika

cinta, suatu ketika kabut tipis mengambang di atas stupa pura memaksa pelangi menunduk lebih dalam seolah kau turun ahh............................ setelah sekian rentang waktu tatah kesetiaan masih saja kau pahat pada selip kamboja di ujung jari menangkup dan keyakinan itu memancar bening cemerlang jelas mengalir dari bulir beras kuning yang menempel di kening tepat diantara dua alis aku masih di sini, sayang menunggu waktu lahir dimana kita akan dipertemukan kembali sebelum keabadian mengikat kita pada taman lokasari : katamu selalu pada jumpa tapi, sayang kau tahu garis ini adalah jalan yang harus kita lalui kemana pun kita membawa hidup kesinilah kita akan dipertemukan dan tahukah kau rasa bangga itu menyiksaku lalu apa yang bisa aku lakukan karena dia pun bisa jadi adalah kelahiranmu kembali : hanya erat gengam dan hangat air di pipi menyatukan puncak kebersamaan perlahan kabut mulai mendaki hingga nampak garis-garis sinar menembus tubuhmu memendar kemudian ketika kepak sayap merp

megatruh edelweis

megatruh edelweis malam baru saja beringsut mengantarkan sepasang kaki menapak tanah mendaki mencari kesendirian yang mungkin masih berarti ketika rindu menyesak dada dan gelayut keterasingan menghimpit kekasih, dalam sepi pagi yang baru merekah ketika embun-embun menggantung di ujung daun bening kualunkan doa dengan segenggam edelweis di tangan tetang sebuah jalan berpagar bunga ada kali jernih dengan jembatan kecil di atasnya hingga ikan-ikan terlihat riang berenang serta sawah hijau yang luas dan randu-randu yang telah selesai merontokkan daun dengan bunga menggantung di tiap rantingnya dan burung kecil penghisap madu melonjat-lonjat mencari kuncup yang baru merekah kekasih, bila esuk pagi suaraku tak lagi membangunkanmu biarlah aku di sini dalam kesahajaan bunga abadi dengan kabut dan embun mengisi hari, bukankah ruang kosong itu tak cukup pantas untuk kau diami? terimalah segengam edelweis ini sebagai pengakuan: setidaknya aku pernah ada! dd : madiun Nop08 persembahan kepada merek

membunuh sepi di puncak bumi

membunuh sepi di puncak bumi dalam sendiri menipis oksigen di paru dan langkah yang kian ringan ada berat menggelayut di jiwa beban yang harus dipikul dan diselesaikan: sebuah kehilangan kosong mata hanya memadang di gelap ketinggian udara menipis dada menghimpit rasa perjalanan sendiri mendaki luka diri menyadari kehadiran pasir tanah terujung terjejak diam dan dingin sepi menunggu matahari dd : madiun Nop08

sayang, ini bukan cinta

sayang, ini bukan cinta pernah kita bersama menerangi malam dengan hati meredupkan hari dengan rasa hanya terdiam menunggu masa mengapa harus bersembunyi di balik remang bayang sementara berdamaikah nalar-nurani? ini bukan cinta, sayang! mengapa harus berpura? kau lihatlah, anak-anak angsa belajar renang di kubangan air sambil menajaga agar bulu-bulu putihnya tetap bersih mengapa harus berpura? ini bukan cinta, sayang! dd : madiun Okt08 pembelajaran cinta dan sang pencinta

selagi kalian belum pulang

selagi kalian belum pulang saudaraku, sebelum nanti kalian benar-benar tinggalkan aku di sini ingin kutitipkan pesan katakan aku masih mencintainya dan mengenangnya di segenap doa-doaku saudaraku, aku yakin kalian akan temukan dia entah di persimpangan atau di padang lapang katakan padanya maaf aku tak cukup menjaganya sebelum kalian harus menghuni rumah baru saudaraku, sebelum kau benar-benar berpeluk bumi ingin aku katakan padamu bahwa kita hanyalah manusia dan kau tetaplah saudaraku doaku pasti akan menaburi tempat tidurmu selamat jalan, saudaraku dor delosor dd : madiun, Okt08 boombali1 : the death warrant

pura kaki langit

pura kaki langit semua hening larut dalam gumaman mantra langit pun menundukkan wajah tangan kami menangkup mempersembahkan kembang kehidupan di mata bathin kami buah kesuburan menempel kami berdiri bersama kami bersila bersama mengumandangkan lagu-lagu lokasari jiwa-jiwa kami menyatu di gumpalan asap dupa meninggi...mendaki menyentuh ubun-ubun langit kami sujudkan cipta agar ladang-ladang kami kembali mengembang untuk kami berbagi dengan anak-cucu langit merendah di atas kepala cemara di sudut pura mengawal kala menjauhkan jiwa-jiwa bermantera dari goda padma rekah sepenuh kolam seekor kecebong merangkak menghirup dalam-dalam asap dupa membekal diri dengan aji sebelum kehidupan naik tahta demikianlah anak-cucu kami mewaris doa pada hyang widhi ketika kami harus pulang menunggu waktu lahir kembali dalam rerupa apa langit menempel di puncak menara pura kami bersatu dengan esok dan kemarin bersama anak-cucu dd : besakih Okt08

kamboja kuning di ujung jari

kamboja kuning di ujung jari (berdua, kalian segalanya, mesti pada dimensi berbeda) sore yang sama pada pelataran pura yang sama ingin menjumpamu dalam pejam mata setelah jarak tak terkejar dengan temali yang tak terputus menyatukan tiga warna dalam guman mantera kamboja kuning ini adalah pengharapan sesekali berkunjunglah sapa dia sejenak bersama sahajamu agar esok bangun dengan senyum pagi dan kamboja kuning terselip di telinganya dalam guman mantera dan pejam mata kubawakan kamboja kuning di ujung jari untukmu dan untuknya karena kamboja kuning ini adalah pengharapan dd : besakih Okt08

perahu patah tiang layar

perahu patah tiang layar di sinikah kau ajak aku berenang pada laut yang tak sekalipun kukenal yang aku rasakan seperti air ketuban di sinikah kau janjikan aku pelabuhan tempat bersandar waktu menunggu kala yang aku tersesat di balutan warna aku lelah, sayang mengikuti alunan ombakmu kau lihatlah bakung sehalaman merindu tanganmu dan pondok kecil itu adalah surga kita mari pulang, sayang dd : madiun Okt08

dia, luh, aku, dan mereka

dia, luh, aku, dan mereka tit tit tit boom malam indah membara tersentak gemuruh tercabik saudaraku, bukan aku tak menghargai semangatmu, bukan aku tak mengakui keyakinanmu, tapi lihatlah, anak kehilangan ibunya, perempuan kehilangan lelakinya, lelaki kehilangan buminya, serentak mereka terkapar dalam keping, tanpa sempat mengucapkan janji terakhir, tanpa sempat meninggalkan kata perpisahan, saudaraku, aku tahu tempat tertinggi yang kau tuju, aku paham hadiah terhormat yang kau buru, namun saksikan, bayi merah harus terpisah dari dada ibunya, sekeping hati harus kehilangan separuh jiwanya, seorang lelaki harus menjadi ibu... waktu pun bergulir, pada tempat terakhir kau tinggalkan dia, dalam dekapku, seorang anak bertanya, ayah, di sini ya tempatnya? (luh, kubawa warisanmu di sini, kenalilah!) dd : madiun, okt08