Separuh Malam Sebelum Panen

Separuh Malam Sebelum Panen
(Panen : Episode I)

“Hallo ! Selamat sore !”
“Hai ! Aku sudah nyampai nih ! Dimana kamu ?”
“Hai-hai, kau lihat !”
“Yup !”
Begitulah, sore itu dia memang datang. Sejenak aku hampir tak percaya. Bukan karena kehadirannya, namun karena sosok yang saat ini ada di hadapanku dan tengah kujabat erat tangannya. Benar-benar berbeda.
Blue-jean, t-shirt putih, jaket sport biru, dan scarf merah bata menggantung di leher. Sepatu kanvasnya pun putih. Kalau bukan karena wajah dan rambutnya yang selama ini terlanjur aku akrabi, aku tak yakin ia memang gadis yang aku tunggu kedatangannya. Benar-benar 360 derajat.
“Capek ya ! Terima kasih ya, kamu benar-benar datang!” Tanpa memberi kesempatan dia untuk menjawab ataupun menerangkan, aku gandeng dia dengan tangan kiriku menuju tempat parkir. Sementara tangan kananku menarik kopornya yang lumayan besar.
“Nih, pakai helm kamu!” Ia pun menerima dan memakai helm yang memang telah aku persiapkan dan aku bawa dari rumah. Kunaiki motor dan kutaruh koper di depan jok. Ia pun langsung bonceng di belakangku.
“Tolong bantu pegangi kopornya, ya !” Pintaku. Dan motor pun mulai berjalan menyusuri jalan makadam menuju desaku.

Jarak 10 km. Tanpa bicara. Kubiarkan angan-anganku kesana-kemari. Gadis yang duduk di belakangku pun kubiarkan punya angan-angan sendiri. Waktu telah tunjuk pukul 20.20 wib saat kami tiba di halaman sebuah rumah desa yang teras depannya diterangi oleh lampu 5 watt.
“Kita sudah sampai! Ayo turun!”
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!” Aku dengar suara jawaban seorang lelaki dari dalam rumah. Kemudian pintu pun terbuka dengan bunyi bergerit. Seorang lelaki umur 60an keluar dari dari dalam rumah.
“Bapak, kenalkan!” “Ini lo, gadis yang aku ceritakan kemarin, yang untuk beberapa hari akan menginap dan menemani kita.”
“Kenalkan! Ini bapak aku!”
Sesaat gadis itu berjabat tangan dengan bapak aku. Tak lupa ia mencium tangan bapak.
“Ayo-ayo masuk!” Sejenak kuperhatikan bapak menggandeng gadis itu masuk rumah dan langsung membawanya menuju ruang tengah. Aku pun mengikutinya sambil menjinjing kopor yang langsung aku masukkan ke bilik yang seharian tadi telah dibersihkan dengan seksama oleh ibu.
“Bu...bu! Ini lo, ada tamu agung dari jauh, temannya si LANANG!”
“Ya, pak! Sebentar!” Kudengar suara wanita dari dalam bilik menjawab seruan bapak.
“Nduk, kenalkan ! Ini ibunya si LANANG.”
Aku lihat gadis itu dan ibu bersalaman kemudian sejenak gadis itu memeluk dan mencium ibu di kedua pipinya.
Ah, damainya hati ini melihat keakraban yang tercipta baru saja.
“Ayolah, Bu! Biarkan dia duduk dan istirahat dulu. Beri minuman dong, Bu!” Ucapku.
Sejenak aku tak tahu apa yang kemudian mereka obrolkan, karena aku kemudian keluar untuk memasukan sepeda motor yang tadi aku pakai untuk menjemput si gadis.
“Sebentar, ya! Aku ke belakang dulu!” Kataku pada si gadis. “Ayo, tehnya diminum!” “Ibu ini gimana sih, kok dibiarkan saja! Suruh minum, dong! Kan dia haus!” Kataku lagi. “Aku ke belakang ya!” Tanpa menungu komentar aku pun berlalu.

........................

“Kamu mandi dulu, gih! Tuh air sudah aku siapkan!”
“Bapak... Ibu, saya mandi dulu, ya!
“Monggo...monggo...monggo, nak monggo!”
“Kopormu aku taruh di dalam, kalo mau ganti baju dulu!” Ucapku pada si gadis sambil menunjuk ke arah bilik tempat aku menaruh kopor tadi.
Si gadis pun berdiri dan masuk ke bilik.
“Besuk jadi kan, Pak! Aku sore tadi ketemu Lik Prapto, katanya orang-orang juga sudah dikasih tahu semua.”
“Yo jadi to, Nang! Wong yo pancen sudah waktunya kok, malah sudah telat seminggu. Keburu kegaringen kalau nggak cepet-cepet di panen.” Jawab bapak.
“Ya, Pak! Alat-alat juga sudah saya siapkan dari kemarin kok!”
“Permisi, Pak ...Bu.... saya mandi dulu!” Ucap gadis itu sekeluar dari bilik sambil sedikit merendahkan tubuhnya.
Sejenak aku terkesima memandang sosok perempuan yang berdiri di hadapanku ini. Sejujurnya perempuan inilah yang tak henti-hentinya memberikan kekaguman padaku, sosok perempuan yang begitu sederhana dalam balutan babydoll warna putih. Di lengan kanannya menggantung handuk warna merah muda dan tangan kirinya menenteng tas kecil yang aku yakini berisi alat-alat mandi dan alat-alat keperempuanan. Selama ini yang aku tahu tentang gadis ini adalah selalu berkebaya dan kain, serta rambut yang selalu dikepang atau disanggul kecil. Bentuk kesederhanaan yang aku kagumi. Selalu begitu sepanjang hari.
“Dimana kamar mandinya, Kak?” Tanyanya padaku. Maka buyarlah kesimaku.
“Oh, ya! Ayo aku antar!” Jawabku sambil berdiri. Aku pun berjalan dan dia mengiringku menuju pintu belakang menuju ruang paling belakang dari rumah ini. Sesungguhnya rumah kami terdiri dari tiga bangunan pokok. Ruang paling depan merupakan ruangan kosong yang biasa dipergunakan untuk menyimpan hasil panen dan untuk menerima tamu. Di ruang depan ini ada satu set meja-kursi kayu yang terdiri dari satu meja, tiga kursi kecil, dan satu kursi panjang. Meja-kursi ini selamanya tak pernah kenal dengan cat ataupun politur. Ruang tengah adalah ruang keluarga yang terdiri dari dua bilik di sisi kanan dan satu bilik di sisi kiri yang difungsikan sebagai kamar tidur. Sementara di tengah ruangan ada satu set meja kursi yang tak beda keberadaannya dengan meja-kursi di ruang depan tadi. Lainnya adalah almari tempat barang pecah belah, televisi yang ditaruh di atas rak kayu sederhana, dan satu unit radio-tape. Ruang belakang adalah ruang yang fungsi utamanya sebagai dapur. Namun sebenarnya di sinilah tempat paling hidup dari rumah ini. Tempat kami biasa menghabiskan hari-hari, karena keberadaannya yang langsung menghadap halaman belakang yang berupa tanah tegal dengan aneka pohon yang rindang. Di sini pulalah kami makan. Di sini pulalah keberadaan kamar-mandi dan WC. Letaknya di pojok kiri bagian belakang.
“Nah, silahkan mandi! Itu kamar-mandinya. Aku tunggu di sini ya ? Atau aku harus ngikut ke dalam? Gak..gak ...canda kok ... di sini aja ya!” Tersenyum gadis itu sambil mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Aku yakin kalau aku tinggal ke ruang tengah pasti gadis ini akan ketakutan. Karena rumah kami kalau malam memang minim cahaya dan jarak kamar-mandi dengan ruang tengah juga lumayan jauh.
Di dipan panjang aku duduk dan diam saja menunggu. Dalam ruang luas yang hanya diterangi lampu pijar 15 watt. Jujur aku tak memiliki angan apa-apa tentang keberadaan gadis yang sedang mandi itu. Atau barang kali yang ada hanya angan kekaguman saja atas kesederhanaan gadis dalam babydoll yang tadi aku lihat. Itu saja.
“Sudah ya? Gantung saja handukmu di jemuran itu!” Kataku sambil menunjuk tali gantungan yang diikatkan di antara dua tiang.
“Habis ini kita makan ya! Kamu laparkan?” Kami pun beriring menuju ruang tangah.
“Nah, ini makannya! Yuk makan!” Ajakku.
“Aku sisiran dulu, ya!”
“Oh, ya! Aku lupa! Aku tunggu di sini ya!” Kataku sambil duduk di kursi.
“Udah? Ayo makan! Seadanya, ya! Beginilah desa!” Kataku sambil mengambil piring dan aku serahkan ke si gadis. Gadis itu pun duduk mengambil tempat di hadapanku.
“Bapak-Ibuk mana, Kak? Tidak makan sekalian?”
“Bapak-Ibuk pasti sudah makan sore tadi! Jadi yang ada di sini tinggal untuk kita!
“Iya, Nak! Bapak-Ibuk sudah makan sore tadi!” Tiba-tiba ibu keluar dari bilik sambil berucap.
“Seadanya, ya! Dan anggap seperti di tempat sendiri! Maaf bapak-ibuk tidak bisa menemani. Silahkan saja, bapak-ibuk istirahat dulu ya!” Lanjut ibu.
“Iya, Buk! Maaf telah merepotkan!”
“Tidak kok, ibu senang...senang sekali. Akhirnya ibu berkesempatan menyiapkan makanan untuk anak perempuan.”
“Duh ibu! Apa maksud ucapanmu itu?” Ucapku lirih dalam hati sambil aku memandang si gadis yang telah duduk di hadapanku.
“Sudah silahkan! Ibu istirahat ya! Oh ya, Nang! Selesai makan biarkan Genduk istirahat ya! Kasihan habis perjalanan jauh pastinya kan lelah sekali!”
“Iya-iya, Buk! Aku tahu kok! Sudah sana cepet istirahat. Ibu juga capai kan!?”
Maka kami pun makan. Dan selesai makan, kami masih menghabiskan waktu untuk beberapa saat dalam perbincangan dan cerita perjalanan dia seharian tadi. Aku merasakan kemesraan yang laur biasa di meja makan ini. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama, karena kesederhanaannya tak mungkin bisa membohongiku. Aku tak bisa mengungkapkan lebih banyak. Biarlah itu menjadi kebahagiaan kami saja.
“Sudah malam, kamu istirahat ya!”
“Iya, Kak! Aku istirahat ya, tapi bagaimana piring-piring ini?” Ampun .... sempat-sempatnya dia memikirkan piring-piring kotor ini. Kagumku pun menjadi-jadi.
“Sudah, biar saja ibuk yang bereskan besuk pagi!”
“Begitu, ya? Bukan aku lo yang gak mau bersih-bersih!”
“Iya-iya, besuk aku yang jelaskan ke ibuk!”
“Ya, sudah! Bobok dulu ya, Kak! Selamat malam!”
“Selamat malam!”
Aku pandangi gadis itu melangkah memasuki bilik sampai kelambu tertutup rapat. Sesaat aku masih memandangi kelambu itu. “Ah, selamat malam!” Bisikku dalam hati.

...............................................................

Waktu sudah tunjuk pukul 23.30 wib saat aku sadar, kurang lebih sudah satu jam aku sendirian duduk di teras rumah. Dan lamunanku adalah tentangnya .... gadis yang sekarang mungkin sudah tertidur pulas dalam pelukan mimpi pesta panen bersama bulan dan bintang. Panen yang besuk akan kami laksanakan.
...............................................................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kuraih ruh-ku

balada kampung kaki